Disebuah kaki gunung ada sebuah kelenteng yang di tinggali oleh seorang nenek bermarga Wang, sehingga penduduk setempat menyebut kelenteng ini dengan kelenteng nenek Wang. Namun tidak seorang pun yang mengetahui berasal dari zaman apa si nenek tua tersebut, hanya para penduduk daerah sekitarnya yang mengetahui dari mulut ke mulut bahwa nenek Wang adalah pengusaha pembuat arak.
Suatu ketika seorang panitia datang kelenteng tersebut untuk menginap, dan setiap hari meminta arak untuk dinikmatinya. Namun nenek Wang tetap melayani sang panitia tersebut, hingga pernah sampai ratusan cawan. Itu semua tanpa imbalan apapun, dan si nenek Wang pun tidak memperhitungkannya.
Suatu hari sang panitia mengatakan kepada nenek Wang “Saya telah menum sedemikian banyak arak dan tidak pernah membayar. Biarlah saya menggali sebuah sumur untukmu”. Setelah sumur selesai di gali, terlihat cairan yang berada di sumur itu ternyata adalah arak dengan kualitas terbaik. Sang panitia lalu mengatakan : “Ini adalah imbalan yang saya berikan untuk membalas budi baikmu nek”. Dan sang panitia segera meninggalkan tempat itu.
Maka hari-hari berikutnya nenek Wang tidak pernah membuat arak lagi, karena cukup dengan menimba dari sumur tersebut sudah cukup untuk melayani permintaan arak dari langganan-langganannya, bahkan arak tersebut lebih harum daripada buatan nenek Wang sendiri sehingga pembelinya berdatangan secara berduyun-duyun.
Selang 3 tahun kemudian, nenek Wang berpenghasilan melebihi puluhan ribu tail, hidupnya sangatlah makmur. Da tiba-tiba sang panitia yang dahulu membuat sumur muncul lagi ke tempat nenek Wang. Nenek Wang pada kesempatan ini menyatakan rasa terima kasihnya kepada panitia tersebut.
Sang panitia berkata kepada nenek Wang : “bagaimana araknya, apakah baik-baik saja?” nenek Wang [un menjawab : “Araknya tetap harum dan baik, hanya saja sekarang tidak ampas untuk memberi makan babi”. (maksudnya sang nenek agar sekalian di buatkan ampasnya). Mendengar permintaan nenek yang serakah tersebut, sang panitia hanya tersenyum-senyum sambil menulis sebuah sajak : “setinggi-tinggi langit, hati manusia adalah tertinggi; air sumur dapat dijual sebagai arak, namun masih saja berkata sang babi membutuhkan ampasnya”. Selesai menulis sajak tersebut, sang panitia beranjak pergi. Sejak saat itu sumur tidak menghasilkan arak lagi.
Cerita ini memberikan suatu peringatan dan pelajaran bagi orang yang serakah, karena keserakahan tiada batasnya, dan pada akhirnya akan ditelan oleh keserakaha itu sendiri.
Suatu ketika seorang panitia datang kelenteng tersebut untuk menginap, dan setiap hari meminta arak untuk dinikmatinya. Namun nenek Wang tetap melayani sang panitia tersebut, hingga pernah sampai ratusan cawan. Itu semua tanpa imbalan apapun, dan si nenek Wang pun tidak memperhitungkannya.
Suatu hari sang panitia mengatakan kepada nenek Wang “Saya telah menum sedemikian banyak arak dan tidak pernah membayar. Biarlah saya menggali sebuah sumur untukmu”. Setelah sumur selesai di gali, terlihat cairan yang berada di sumur itu ternyata adalah arak dengan kualitas terbaik. Sang panitia lalu mengatakan : “Ini adalah imbalan yang saya berikan untuk membalas budi baikmu nek”. Dan sang panitia segera meninggalkan tempat itu.
Maka hari-hari berikutnya nenek Wang tidak pernah membuat arak lagi, karena cukup dengan menimba dari sumur tersebut sudah cukup untuk melayani permintaan arak dari langganan-langganannya, bahkan arak tersebut lebih harum daripada buatan nenek Wang sendiri sehingga pembelinya berdatangan secara berduyun-duyun.
Selang 3 tahun kemudian, nenek Wang berpenghasilan melebihi puluhan ribu tail, hidupnya sangatlah makmur. Da tiba-tiba sang panitia yang dahulu membuat sumur muncul lagi ke tempat nenek Wang. Nenek Wang pada kesempatan ini menyatakan rasa terima kasihnya kepada panitia tersebut.
Sang panitia berkata kepada nenek Wang : “bagaimana araknya, apakah baik-baik saja?” nenek Wang [un menjawab : “Araknya tetap harum dan baik, hanya saja sekarang tidak ampas untuk memberi makan babi”. (maksudnya sang nenek agar sekalian di buatkan ampasnya). Mendengar permintaan nenek yang serakah tersebut, sang panitia hanya tersenyum-senyum sambil menulis sebuah sajak : “setinggi-tinggi langit, hati manusia adalah tertinggi; air sumur dapat dijual sebagai arak, namun masih saja berkata sang babi membutuhkan ampasnya”. Selesai menulis sajak tersebut, sang panitia beranjak pergi. Sejak saat itu sumur tidak menghasilkan arak lagi.
Cerita ini memberikan suatu peringatan dan pelajaran bagi orang yang serakah, karena keserakahan tiada batasnya, dan pada akhirnya akan ditelan oleh keserakaha itu sendiri.
Masukkan Nama Dan Email Anda Untuk Mendapatkan Kedua Ebook Super Di Atas:
0 komentar:
Post a Comment